Senin, 16 Juni 2008

TENTANG ANAS, KAWAN-KAWAN SAYA,

GARCIA LORCA, ALEXANDROS PANAGOULIS
DAN
KESEDIHAN ITU,…SUARA-SUARA ITU

R. Timur Budi Raja


“Aku mengingat kesedihan bertiup di udara terbuka”
(Federico Garcia Lorca)

“Sifat sebagian besar para penyair itu rakus. Tamak. Dengan gaya baca puisi yang jelek mereka tetap berbesar hati membawakan puisi-puisinya di panggung atau di forum-forum. Mengapa mereka tidak mempercayakan kepada para deklamator? Mengapa mereka tidak memberi ruang kepada deklamator? Atau, apakah akan demikian selamanya, bahwa deklamator itu hanya hidup dari lomba ke lomba?“ demikian Anas –seorang pembaca puisi-, berbicara berapi-api tapi cukup sedih.

Anas kawan saya ini saya kenal kurang lebih dua tahun yang lalu di Taman Ismail Marzuki (TIM), ketika saya diundang membacakan puisi dalam rangka Pembacaan Puisi Para Nominator Lomba Cipta Puisi Anti Kekerasan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Award yang diselenggarakan oleh Yayasan KSI di Jakarta. Konon, ia lama di TIM, bertemu dengan banyak seniman dan katanya lagi, sempat bermain film.

“Ah, jangan-jangan ini hanya kecemburuan Anas saja terhadap para penyair karena merasa dunianya, dunia baca puisi terganggu,“ celetuk Ale’ tiba-tiba.

“Tampaknya kamu melupakan satu hal, Kawan Anas. Bahwa tanpa adanya penyair, apalah arti seorang deklamator? Bukankah puisi diciptakan oleh penyair?“ Guruh –seorang kawan yang lain- seakan mengingatkan.

“Bukanlah persoalan kupikir, apakah penyair suka membacakan puisi-puisinya atau tidak, meski cara dia membaca jelek. Mengapa? Ya, puisi lahir memang untuk dibaca. Dan yang kedua, bahwa hal tersebut adalah bagian dari otoritas penyair. Jadi saya pikir hal yang kau angkat sebagai persoalan, sungguh terkesan mengada-ada,“ tandas Guruh lagi.

“Jangan minta legitimasi eksistensi deklamator terhadap para penyair! Buat sajalah kegiatan sendiri, bikin forum sendiri dan jangan sakit hati! Baca puisi siapa saja di situ. Silakan diedel-edel, dibongkar –bongkar, dibaca penuh sambil jungkir-balik atau tidak,…Terserah! Mau diteaterkan, dideklamasikan, dimusikkan, ditarikan atau pun disenirupakan, buatlah itu urusanmu!“ Dedek pun ikut masuk ke dalam perbincangan ini, seperti melompat begitu saja.

“Kau bisa saja beralasan, bahwa dunia teks atau naskah sangatlah memiliki perbedaan dengan dunia panggung atau pertunjukan. Artinya, bila ada yang bertanya kepadamu dengan nada marah: Mengapa begitu?… Jawab saja, bahwa tugas seorang penyair atau penulis telah selesai, ketika naskah yang ditulisnya selesai. Dan dunia panggung adalah dimensi yang lain, kerja yang lain, atau dan…bisa saja adalah orang yang lain pula,“ sambung Dedek.

“Kawan-kawan! Lepas dari kecemburuan seorang Anas, yang jelas ada hal menarik di sini untuk direnungkan kembali bersama-sama. Lebih jauh lagi, aku menangkap barangkali memang sudah ada pergeseran makna tentang penyair secara istilah atau definisi. Kalau dulu atau kemarin peran penyair adalah sebagai seorang penulis,..maksudku pencipta dan sekaligus pula membacakannya. Sedangkan pemahaman dan pemaknaan tentang seorang penyair yang dibawa Anas, sebagai seorang deklamator, hanya cukup sebagai seorang penulis saja. Aku tidak tahu, apakah dunia kepenyairan mengalami perkembangan atau sebaliknya karena adanya hal ini. Yang jelas ini menarik untuk didiskusikan lebih lanjut,…” Enes yang sejak tadi jadi pendengar yang baik, akhirnya turut pula turun menengahi.

Saya diam saja. Saya pun adalah seorang pendengar yang baik. Meski disisi yang lain, saya sungguh ingin melontarkan pendapat yang berisi ketidaksepakatan saya terhadap Anas.

Diam-diam, saat itu ada banyak nama bergetar di benak saya. Mereka datang seperti ingin menjelaskan diri mengapa mereka menulis sajak dan bagaimana mereka memahami penderitaan. Saya mengenang Lorca yang menghadapi kematian dengan begitu tenang pada detik-detik terakhir, dimana ia sebentar kemudian akan ditembak oleh beberapa tentara di Spanyol -di negerinya-, karena dianggap berbahaya oleh penguasa pada jamannya.

Dan seandainya Anas tahu, bahwa jauh di ujung ingatan dari yang bernama masa lalu, terdapatlah seorang penyair bernama Alexandros Panagoulis.

…Yunani kemudian bebas. Tapi dalam sejarahnya lalu datang sejumlah perwira yang kemudian terkenal dengan sebutan “ para kolonel “. Mereka mengambil alih kekuasaan. Yunani jadi kediktatoran, kali ini oleh anak kandungnya sendiri. Dan di negeri tempat lahirnya demokrasi itu demokrasi pun dianggap asing, hendak dihapus, seperti juga mereka mencoba menghapus kata oxi di dataran Peloponnesus…..

…,ada pula seorang penyair Yunani yang disiksa “ para kolonel “ dan menulis puisi dengan darah…..

…Oriana Fallaci telah bertemu dengan Alexandros Panagoulis. Dialah penyair yang ditahan, disiksa, dan menulis sajak di penjara dengan tetesan darahnya. Dialah penyair yang digebuk, disetrum, digantung, dikerangkeng, dalam sel paling sempit, dan dalam usia muda keluar ke bumi dengan wajah seorang tua. “ Hari itu ia punya wajah seorang Yesus yang disalibkan sepuluh kali, “ tulis Fallaci seperti seorang ibu yang gementar.*)

3 November 1979

Seandainya Anas tahu. Seandainya Anas tahu, bahwa saat itu ia tak membutuhkan kertas dan pena. Ia bahkan, tak sekalipun membacakan puisinya dan tak memerlukan seorang deklamator. Ia hanya menuliskan sajak-sajaknya dengan darah di penjara itu di tengah sunyi, sebelum ia tak berkata kata lagi. Dan ia juga tak pernah mengajak seorang siapa pun untuk dibawanya berduka.

Pada malam-malam di saat saya menulis puisi, ia suka terdengar seperti suara seruling yang mengalir ke kamar saya dari suatu tempat. Entah dimana.

Bangkalan, 19 Pebruari 2003.


*) Dikutip dari bukunya Goenawan Mohammad; Catatan Pinggir 1, dengan judul Oxi,
halaman 52-53. Cetakan Keempat, Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti – Jakarta.

Tidak ada komentar: