Minggu, 08 Juni 2008

PENCURI! PENCURI!

R. Timur Budi Raja

Saya punya beberapa alasan untuk menuduh mereka sebagai pencuri.
Sejak lima belas hari terakhir ini saya menulis cerita tentang kehidupan mereka, barang-barang di rumah saya selalu saja hilang. Mulai dari pikiran, sepatu, sandal, pasta gigi, sejumlah gagasan, sedikit rencana, beberapa impian, kebiasaan-kebiasaan kecil, celana dalam dan lain-lain. Mereka seperti tak menginginkan barang-barang atau hal-hal itu akrab dengan tubuh saya. Dekat dengan diri saya. Mereka sungguh membenci saya.
Seperti empat hari yang lalu misalnya, salah seorang dari mereka tertangkap basah membawa sebuah disket milik saya. Saya marah bukan main. Bagaimana tidak, di dalam disket tersebut ada reka-reka cerita berupa ending dari nasib mereka. Dan saya tak ingin mereka tahu, atau paling tidak, membaca kelebatan rencana saya.
“Kurang ajar!” begitu gerutu saya.
Lalu, saya tanya pada dia, “kenapa kamu mencuri?”.
“Mencuri?“ pekiknya balik bertanya, sepasang matanya membawa api.
Saya merinding.
“Ya, mencuri!“ jawab saya menegaskan, mencoba menenangkan diri.
“Bukan, ini bukan mencuri. Ini lebih sebagai sebuah upaya untuk menyelamatkan kelangsungan hidup kami yang tengah terancam. Kami menolak nasib buruk! Dan kamu adalah penyebabnya!”
Saya bergidik. Telunjuknya menuding.
Diam-diam kini saya jadi mengerti. Tampaknya, mereka sedang menggagas semacam rencana untuk keluar dari alur dan bergegas pergi meninggalkan saya.
Sejak peristiwa itu saya jadi cemas. Suatu saat kelak, entah kapan saya yakin, gigi geraham sebelah kiri saya pada akhirnya juga akan dicuri oleh tokoh-tokoh dalam cerita ini. Saya dapat membayangkan; bagaimana kemarahan mereka, sakitnya mereka, kebencian mereka, luka-luka mereka, dendam dan formula-formula pemberontakan yang akan mereka lakukan untuk perjuangan keluar dari alur.
Beberapa waktu kemudian, saya temui mereka mulai suka membuat rapat. Baik rapat kecil, rapat sedang, maupun besar.
Saya jadi takut, mereka sekarang bersenjata!
Tadi pagi beberapa file dari computer saya lenyap. Sebagian file menjadi bahasa program. Virus! Saya jadi curiga, jangan-jangan mereka telah mengirim virus lewat jasa layanan internet (via e-mail) ke computer saya. Seperti pembaca ketahui, e-mail saya selalu on-line. Terbuka kepada siapa saja. Dan saya tahu, pengeluaran saya jadi membengkak karena jasa layanan ini. Juga pulsa telepon, pulsa telepon!
Sesekali saya heran, bagaimana mereka tahu alamat e-mail saya. Padahal, saya tak pernah memberi tahu mereka. Dan ini aneh! Aneh! Bukankah mereka hanya tokoh. Sekali lagi cuma tokoh!
iMereka seperti sesuatu yang tiba-tiba hidup dan melompat begitu saja. Lalu menciptakan berbagai masalah, berbagai jenis teror dan kerusuhan untuk mimpi-mimpi saya. Hidup saya! Hingga masalah yang berjenis-jenis itu semakin tak jelas cerita dan akhirnya. Persoalan yang mereka timbulkan itu membiak begitu cepat. Saya takjub, geli, heran bercampur malu dan ngeri. Bayangkan, saya seorang penulis. Dan anehnya, tak bisa seperti mereka. Tentang ini, mohon jangan pembaca ceritakan kepada siapapun, termasuk kepada tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita saya! Off the record istilahnya. Sebab, ini bisa disebut sebagai aib dan kelemahan. Saya dapat menerka bila mereka mendengar ini, tentu yang pasti, mereka akan mengadakan pesta. Pesta! Kemudian mereka semakin menjadi-jadi dan berbalik menjajah saya.
Sssttt,...lihat itu, para tokoh saya mulai melakukan mobilisasi dan penggalangan massa! Seorang diantara mereka bertanya kepada salah seorang yang lain, yang didaulat menjadi pemimpin. Dengar, dengar,…!
Oalaah, dia bertanya, siapa nama saya. Hahaha,…ini celah namanya. Artinya, sebagian dari mereka ternyata tidak mengenal saya. Dan pembaca yang budiman sekali lagi saya minta tolong, jangan pernah bilang kepada mereka, bahwa nama saya Timur. Rahasia! Janji lho ya?
Hai, lihatlah, para tokoh dalam cerita saya sedang membagi-bagikan senjata pada anak buah mereka! Duh, bagaimana bisa begini, orang sebanyak itu saya tidak kenal identitasnya? Imigran dari penderitaan mana saja ini? Bukankah warga atau penduduk dalam cerita ini tak sebanyak itu? Saya jadi semakin bingung, bagaimana cara mereka merekrut massa? Saya pusing, massa sebanyak ini lewat jalur mana? Darat, laut atau udara? Bagaimana mereka bisa lolos dari pandangan dan penjagaan saya? Mereka tanpa paspor!
Duh, sekarang mereka belajar baris-berbaris ala militer. Di pojok ada tenda, tampak para pemimpin sedang mendiskusikan sesuatu. Mungkin semacam penyerangan. Atau lebih tepatnya, serangan fajar! Seorang pemimpin yang menunjukkan peta titik-titik rawan penyerangan itu saya kenal. Suhar namanya. dia seorang yang licik. Tiga minggu lalu ia datang ke rumah saya, pinjam duit. Tak banyak, cuma tujuh juta jumlahnya. Alasannya untuk modal UKM. Ia janji satu minggu, tapi tak pernah balik lagi. Penghianat! Bajingan!
Ha..ha.. mereka ini lucu. Lihat saja para pemimpin yang sedang rapat itu! Wajah mereka jadi culun saat sedang tablo. Supar? Kenapa Supar ada di situ? Bukankah Supar teman kuliah anak saya? Ia sering makan dan menginap di rumah saya.
Ia angkat bicara, “Kita harus mencari formula lain yang lebih tepat dan pembagian kerja yang lebih terstruktur. Kita memang akan mengambil alih sistem, tapi,…” Pembicaraan Supar terhenti, seperti ragu-ragu.
“Begini maksud saya,…” lanjutnya berat dan parau. Tapi bersamaan dengan itu handphone saya berdering begitu keras. Saya jadi tak mendengar suara Supar. Dari rautnya, saya menangkap bahwa supar tak menguasai strategi perang. Dalam benak terlintas, saya akan menyamar dan mengintip dari dekat. Tergesa saya ambil handphone dan menerima panggilan. Dari Ami, pacar gelap saya. Perempuan 27 tahun itu tanya, apakah saya ada waktu. Ia menunggu saya di sebuah kamar hotel.
Sampai disini cerita pendek ini saya pause.
Selamat malam!


Bangkalan, 2007

Tidak ada komentar: