Selasa, 05 Agustus 2008

TEMU TEMAN DAN SILATURAHMI INDONESIA

-sebuah catatan penyunting dan pengantar buku-

R. Timur Budi Raja

I.

Ketika Puji Lestaluhu -kawan saya-, seorang aktivis teater kampus yang kebetulan menjadi salah satu dari kepanitiaan Temu Teater Mahasiswa Nusantara 2008 ini meminta saya untuk menjadi kurator sajak-sajak peserta yang rencananya hendak dibukukan, saya terkejut. “Ya ampun, rasanya saya belum cukup memiliki keberanian!” seru saya, sontak dan ringan. Tapi, Puji, kawan saya itu segera memberi isyarat agar saya diam, sembari menyerahkan setumpuk teks. “Kami tunggu kabar, dan pastikan tiap komunitas dapat ruang satu,” ucapnya. Wah, saya memilih mengiyakan dan tersenyum akhirnya.

Terus terang, awalnya saya sangat kelimpungan. Saya tiba-tiba menjadi seorang penakut yang berhati-hati. Dan sekali lagi, ya ampun, hingga menjelang waktu yang ditentukan itu tiba, saya masih juga rajin-rajin bertengkar dengan pikiran sendiri lantaran perkara ini.

Sebenarnya apa yang saya takutkan? Kerja kurasi yang sedang saya pikirkan ini-kah, atau keinginan pihak panitia yang memberi catatan kaki agar tiap komunitas peserta dapat dipilih –atau lebih tepatnya diambil satu- dari sekian sajaknya?

Kedua pertanyaan yang saya rumuskan itu, tragisnya benar. Setidaknya, sebab catatan kaki pihak panitia itulah, kemudian alasan-alasan ketakutan saya menjadi lebih jelas. Bagaimana mungkin kerja seorang kurator dimasuki wilayah keinginan panitia. Sebenarnya bagaimana konsepsi awal rencana penerbitan buku kumpulan Temu Teman ini? Demi distribusi keadilan –meminjam istilah panitia-, kenapa perlu seorang kurator? Lalu, apakah seorang yang ditunjuk sebagai kurator digiring menjadi tidak profesional dan timpang dalam kerja kurasinya, bahkan diberi ruang bunuh diri?

Bagaimana tidak. Pertama; ketika memandang kenyataan teks yang ada, meski tidak seluruhnya, tapi yang lebih dominan sederhana seperti ini, saya khawatir terlalu tergesa-gesa bila harus menentukan standarisasi ideal untuk memberi nama tumpukan di tangan saya ini sebagai teks yang ditulis dengan bobot sastra dan atau menyebutnya sajak. Kedua; persoalan yang berkembang kemudian karena sebayang hantu pertanyaan rentetan, adalah ukuran apa yang harus saya gunakan untuk membaca, membaca ulang dan seterusnya memilih teks-teks itu sebagai isi buku, yang nanti akan dinyatakan panitia sebagai sebuah kumpulan atau antologi sajak?

Saya bergidik. Buku yang sedang dibayangkan bersama itu, terlepas dari bagaimana pun kemasannya, atau pun mau dipandang sebagai apa saja, tentu akan dibawa oleh para peserta Temu Teman se-Nusantara yang pulang ke daerahnya masing-masing.

Mungkin sebagai benda kenangan; memorabilia dengan ikatan sejarah, peristiwa dan momentumnya. Mungkin untuk pendokumentasian, mungkin untuk pembacaan, mungkin demi motivasi kreatif, mungkin untuk semacam album silaturahmi, mungkin catatan perjalanan atau kekenesan di usia muda, atau cuma untuk dibawa pulang.

Akhirnya, saya bergegas menghubungi dan mengajak pihak panitia untuk mendiskusikannya ulang. Singkat cerita, lewat percakapan yang cukup panjang, akhirnya kami menemukan jalan keluar, yang mungkin lebih arif. Kedudukan saya bergeser sebagai penyunting. Saya bahagia, karena saya tak lagi duduk semirip paus dan hakim, atau pun sang penuding.

II.

Seorang penyair, yang sumpah mati saya lupa namanya, pernah mengatakan bahwa perkembangan penulisan sajak saat ini sudah sampai pada tataran niat. Artinya, sesuatu yang ditulis oleh seseorang –baik dia penyair atau bukan- dan diniatkan sebagai sajak, maka, ya itulah sajak.

Ini subyektif memang, bahkan, debatebel. Bagi seorang penyair yang sudah tiba atau memiliki teknik menulis, tentu pemahaman itu dapat diterima atau lewat begitu saja. Persoalannya, bila pemahaman tersebut ditangkap oleh seseorang, atau siapa pun yang baru memulai masuk ke dalam dunia penulisan kreatif, dalam hal ini sajak, barang tentu kemudian, aktivitas menulis dipandang semacam kegiatan yang mudah dan tak perlu serius belajar.

Wah, gampang benar menulis sajak. Seseorang yang tanpa dasar pengetahuan bahasa, tanpa memiliki literatur tentang sastra dan karya, apakah mungkin bisa menulis sajak? Apakah aktivitas menulis bisa dipisahkan dari aktivitas membaca? Apa yang akan ditulis, kalau tak pandai membaca? Aih, rasanya ini tak perlu diperpanjang!

Sekarang, bagaimana dengan setumpuk teks yang ada ini? Apa yang perlu kita telisik dari sebuah kehadiran? Apakah teks-teks ini telah merepresentasikan temu teman, dalam pengertian yang sesungguhnya? Silaturahmi nusantara; semacam kegelisahan pertemuan, kerinduan untuk membikin api, perhelatan akbar, sidang besar dan orang-orang muda yang dengan tangan kiri terkepal tengah mereka-reka Indonesia kembali, karena dibaca tak lagi menjanjikan apa-apa.

Sajak-sajak yang telah saya pilih dalam buku ini, dengan seluruh keterbatasannya, yang pasti telah berbicara dengan bahasa mereka. Jujur, lugas sebagai bahasa anak-anak muda yang tengah mencari arti kehadirannya sendiri. Sederhana dan dipenuhi oleh spirit silaturahmi Indonesia. Lebih tepatnya, Nusantara!

Dalam gelora kreatif, ternyata mereka benar-benar bertemu dan belajar. Maka, selamat membaca dan menelisik kehadiran ini.

. Surabaya, 28 Juli 2008

Penyunting

R. Timur Budi Raja


TEMU TEMAN DAN SILATURAHMI INDONESIA

-Sebuah Catatan Penyunting & Pengantar Buku Kumpulan Sajak-

Selasa, 17 Juni 2008

Gambar Cinta dari Atjeh

R. Timur Budi Raja


4 Pengubur Mayat
Kami kuburkan ia. Semoga selamat sampai ke alamatMu. Semoga diterima di tanah yang lebih luas, dan tak ada penderitaan di hatimu. Saudara-saudara kami yang lahir, hidup dan mati lantaran penderitaan. Kami kuburkan ia, semoga tersenyum di sana, di tanah lapang yang tak ada penderitaan.

Pengubur 1
“Seperti kami, 50 tahun usianya dihidupi penderitaan, darah, kematian, orang-orang yang diburu dan dibantai oleh nasib buruk, ia melihat semuanya, seperti kami, ia pun pernah menjadi bagian dari orang-orang yang diburu itu. Matanya yang jernih tak mampu menahan genangan air mata yang ingin jatuh jadi gerimis.

Pengubur 2
(meletakkan cangkul)
Tapi itu penderitaan yang berbeda! Itu adalah pertikaian yang dimulai dari kejahatan janji. Tentara pusat datang dan mencoba membungkam teriakan kami. Mereka ingin kami tak menagih janji itu. Tapi kami tak mampu menahan rasa sakit. Lalu mereka memberikan bencana. Mereka tidak memperbolehkan kami berkelompok dan berbeda pandangan dan memilih untuk tidak hidup bersama mereka. Ya, bersama mereka! Negara telah membuat mereka tak mengenal kami sebagai saudara yang harus memilih jalan lain.

Pengubur 3
Kemudian mereka menculik seluruh kaum laki-laki di sini. Mereka bawa ke suatu tempat, dan sejak itu kami tak pernah melihatnya lagi. Kampung ini jadi sepi, perempuan kehilangan suaminya, anak-anak gadis diperkosa, dan laki-laki yang lain harus pergi ke hutan-hutan.

Pengubur 4
Sudahlah! Tak baik kita mengingatnya lagi. Jangan kita kotori upacara kepergian dirinya, saudara kita ini, menuju halamanNya yang suci. Ia telah memanggil saudara kita dengan cara yang lain, yang mungkin lebih baik.

Pengubur 2
Tidak! Aku mulai mempertanyakan, kenapa harus selalu tanah ini? Kenapa penderitaan selalu datang dan bertubi? Tanah yang kita jaga, tanah yang kita sayang dan kasih. Oh,….(Tuhan?), aku jadi sangsi!

Pengubur 1
Tutup mulutmu! Jangan biarkan pikiranmu kotor, akankah terus kau pertanyakan. Kau mempersoalkan keadilan Tuhan.

Pengubur 3
Ya! Aku pun sepakat dengannya. Kenapa bencana ini harus terjadi disini, ditanah ini? Bertahun-tahun kita tenggelam dalam penderitaan ini.

Pengubur 4
Kau gila. Kalian berdua gila!

Pengubur 2 & 3
Ya, kami memang gila! Kami mulai sangsi, kami mulai tidak percaya terhadap apa-apa dan siapapun. Bahkan, terhadap Tuhan yang kau banggakan! Maafkan kami bila harus menghianati kepercayaan kami

Pengubur 1
Cukup! Musibah ini telah terjadi, lebih baik kita kuburkan mayat-mayat saudara kita ini. Apakah akan kita biarkan mayat saudara-saudara kita membusuk, lantaran kalian terlalu banyak cakapnya?

4 Pengubur Mayat
Kami kuburkan ia. Semoga selamat sampai ke alamatMu. Semoga diterima di tanah yang lebih luas, dan tak ada penderitaan di hatimu. Saudara-saudara kami yang lahir, hidup dan mati lantaran penderitaan. Kami kuburkan ia, semoga tersenyum di sana, di tanah lapang yang tak ada penderitaan.


Bangkalan-Sumenep, 2004

TENTANG KEMERDEKAAN

R. Timur Budi Raja

Masih ingat dengan lirik lagu ini:
"Tujuh belas Agustus tahun empat lima. Itulah hari kemerdekaan kita. Hari merdeka, nusa dan bangsa, hari lahirnya bangsa Indonesia,…Merdeka!….."
Dan benar. Indonesia memang telah mengajukan kedaulatannya pada hari itu, tanggal 17 Agustus 1945 yang silam kepada dunia. Seluruh rakyat Indonesia menangis. Bukan karena sedih, tapi lantaran keharuan yang dalam mengenang perjalanan sakit dan perihnya luka beratus tahun di bawah kaki penindasan bangsa asing -para penjajah-, yang datang dari belahan bumi yang lain.
Tangis keharuan yang jatuh pada saat itu, tentu saja adalah tangis keharuan yang wajar. Yang tidak mengada-ada dan bukan atas nama semacam romantisme atau kecengengan-kecengengan yang dangkal terhadap sejarah. Airmata tersebut barangkali memang musti jatuh, dan mungkin untuk sekali itu saja.
Perasaan kepemilikan akan persoalan yang sama -pada awalnya hanya bicara tentang kedaerahan, yang pada akhirnya menjadi bersifat nasional- itu, yakni ketertindasan, menyebabkan mereka mengangkat senjata untuk melawan.
Latar belakang kesamaan sejarah, nasib, wilayah, itikad dan tujuan yang pasti telah mempertemukan mereka -para pejuang, dan orang-orang yang berdiri di depan sekali mengawal bangsa dan negeri ini-. Baik di tengah-tengah medan peperangan atau pun juga pada saat berpikir keras untuk menentukan keputusan-keputusan mendesak, di antara situasi dan kondisi yang serba darurat dan genting di dalam kerangka persiapan kemerdekaan.
Tema persatuan adalah kunci dari adanya komitmen untuk menyatakan diri bersama-sama sebagai suatu bangsa, lalu membentuk dan membangun sebuah negara.
Pengalaman pada waktu itu telah memberikan sebingkai cermin dan mengajarkan, bahwa gerakan perlawanan yang bersifat kedaerahan terhadap tirani apa pun atau dinding kekuasaan suatu rezim tertentu, terbukti cuma menghasilkan kegagalan demi kegagalan semata. Oleh karena itu, diperlukan sebuah kesadaran baru dan kesepakatan bersama dalam memberi arti terhadap rasa kebersamaan, persatuan, ideologi dan gerakan-gerakan perlawanan yang dilakukan.
Persatuan? Kebersamaan? Ya, tentu saja. Karena hal-hal tersebut jelas-jelas memberi kekuatan bagi keberlangsungan hidup dalam konteks berbangsa dan bernegara.
Baiklah, itu telah berlalu. Bisa dianggap masih dekat atau, bahkan jauh sekali tertinggal di belakang. Kita dapat melipatnya, sambil sedikit ketawa dan berujar " Ah, itu sudah menjadi sejarah! ".
Di bulan Agustus tahun ini kita -bangsa Indonesia-, kembali merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan yang ke-63. Lampu-lampu merkuri dipasang dimana-mana. Kembang api warna-warni dinyalakan, membuat malam menjadi meriah. Spanduk-spanduk bertuliskan semangat kemerdekaan dan selamat ulang tahun ke-63 dipajang di sepanjang jalan-jalan protokol. Bendera merah putih dikibarkan di depan rumah, di kantor-kantor dan seluruh instansi pemerintah yang ada di kota, di desa, di dusun dan di kampung-kampung. Lagu-lagu dan mars kebangsaan terdengar riuh di setiap upacara yang dilaksanakan. Beragam aktivitas kegiatan diadakan. Aneka perlombaan dan adu kreativitas digelar. Mulai dari perlombaan yang menggunakan kekuatan fisik atau otot seperti balap karung, pacuan kuda, panjat pinang, makan kerupuk, sampai pada perlombaan yang menggunakan kemampuan pikiran.
Di setiap stasiun TV dan radio disiarkan, bagaimana presiden, wakil, seluruh menteri dan stafnya tiba-tiba menitikkan airmata pada waktu upacara sedang berlangsung.
Beberapa orang yang ikut memiliki andil pada masa perjuangan pra kemerdekaan, yakni menghalau penjajah di setiap medan peperangan yang terjadi sampai pada ketika proklamasi diperdengarkan kepada dunia, tidak mungkin melupakan begitu saja heroikme suasana pada waktu itu. Keterikatan bathin mereka dengan suasana yang mereka kenal dengan baik itu, tentu saja akan membuat mereka bergetar kembali mengingatnya. Kalau pun mereka menangis, yang jelas tidak untuk dirinya sendiri.
Bagi sebagian orang atau generasi yang bukan produk dari jaman itu hanya bisa mendengarkan "ceritanya" lewat orang tua, buku-buku bacaan, lagu-lagu perjuangan, mars kebangsaan dan mata pelajaran sejarah yang diajarkan di bangku-bangku pendidikan dasar formal yang justeru terkadang belum tentu sepenuhnya benar. Sebagian orang yang saya maksudkan di sini adalah angkatan generasi yang lahir pada jaman dimana "perang melawan ekspansi orang-orang asing" telah lewat.
Perang tersebut memang telah berlalu. Tapi perang-perang baru dalam berbagai bentuk sedang dialami bangsa kita. Perang dalam berbagai lini dan konteks aktivitas sosial sesungguhnya tengah dimulai.
Beberapa puluh tahun saja setelah peristiwa proklamasi itu, tiba- tiba kita menjadi terlalu congkak menatap keberadaan diri kita sendiri. Pada saat angkuh berdiri, kita kerap lupa bahwa bumi tempat kita berpijak sesungguhnya telah longsor dan terancam. Apa sesungguhnya yang terjadi dengan kita atau bangsa ini? Bahwa kita semakin jauh dari nilai-nilai dan tradisi, bahwa kita tidak pernah dekat dan mengenal akar budaya kita berasal. Stempel-stempel dan istilah-istilah seperti masyarakat baru, masyarakat modern, negara berkembang, masyarakat industri, era globalisasi dll. yang ditiupkan oleh "jaman baru" yang kita sebut ini telah cukup lama membuat kita terlalu penat dan terasing.
Belum lagi persoalan-persoalan umum menyangkut realitas dan perilaku kekerasan yang dilakukan negara terhadap rakyat untuk melegitimasi kekuasaan dengan berbagai alasan, ketidakadilan ekonomi, pencaplokan dan penggusuran tanah, kesenjangan pendidikan, perilaku korup dan lain-lain masih saja selalu kita rasakan dan dengar setiap waktu di negeri ini.
Diam-diam saya teringat seorang lelaki tua bekas pejuang kemerdekaan bernama Romo, yang suka meledak-ledak ketika berbicara dan bercerita tentang jamannya. Ia yang suka berpakaian seperti halnya pakaian Pak Dirman itu, hanya memiliki kebanggaan-kebanggaan yang sederhana. Romo, lelaki yang sering memakai sepeda onthel berkeliling kota itu, suka menundukkan kepala dan menangis di bawah tiang bendera. Entah mengapa.
Atau kepada Tedjo dan Sarjikun. Kawan-kawan sepermainan saya dulu di kampung, yang setamat dari bangku sekolah dasar harus kembali ke sawah karena tidak mampu meneruskan sekolah. Beberapa waktu yang lalu, mereka sempat menjadi pedagang kaki lima di Surabaya. Tapi tidak bertahan lama. Menurut Tedjo, barang-barang dagangan serta rombong kaki lima miliknya dan teman-teman seprofesinya, dihancurkan begitu saja oleh Satpol PP dan dibawa entah kemana.
Bahkan, kata Tedjo lagi, beberapa mahasiswa yang menggelar aksi demo menentang tindakan "kejahatan kolektif" semena-mena antara Pemkot dan Pengusaha setempat itu, dipukuli oleh aparat keamanan. Saya hanya dapat memandang Tedjo yang sadar terhadap hak-haknya yang sangat sederhana, sebagai bagian dari bangsa ini.
Konon negara ini memiliki undang-undang, dimana salah satu pasalnya menyatakan, bahwa negara menjamin kemerdekaan setiap penduduknya untuk memperoleh penghidupan yang layak.


Bjn-Sby, 16-17 Agustus 2003

Makassar Palace

-rindu-
dark dragged down, sist
drizzle comes to fall with
as if it jail my tonging
me….gazing still
me helpless
turn down the lonely
this time
the lonely in me is you

2000