Minggu, 08 Juni 2008

ANAK-ANAK YANG SETIAP PAGI MEMUNGUTI AIRMATA

:LANSKAP KEKERASAN DALAM NARASI PUITIK

R. Timur Budi Raja

I.

Saat sajak-sajak ini disodorkan hingga sampai di tangan saya, tak ada lain yang melintas di benak saya, kecuali kecurigaan. Tepatnya, keinginan untuk mencurigai. Lebih-lebih mengingat ketika kawan saya, Taqin, -sang penelepon gelap yang berposisi di Surabaya itu-, mengabarkan bahwa satu jam kemudian pasca kontak dia akan berkunjung ke tempat saya di Junok.

“Wah, brengket benar Si Taqin! Bukankah jarak dari Surabaya ke Bangkalan tidak cukup ditempuh dengan waktu satu jam perjalanan?” begitu saya berpikir normatif. Pikiran normatif itu langsung ambyar, ketika tiba-tiba di kepala saya meledak kembali kisah pesawat Challenger, yang sesungguhnya telah lama sayup dalam ingatan pengetahuan saya. “Apakah rumus-rumus matematika dan fisika itu masih menjadi penting untuk menghitung kemungkinan dan kepastian?” pikir saya lagi.

Ah, saya cuma bisa terkejut saja ternyata. Lalu mengklaim rencana kedatangannya itu sebagai sebuah gagasan kenakalan terburu-buru yang kejam.

Bagaimana tidak? Kampung saya saat itu tengah dirawat oleh sejumlah perasaan takut dan bersalah, setelah peristiwa pembantaian yang dilakukan satu keluarga besar blater, -warga kampung saya-, terhadap tiga orang warga dari kampung lain. Dimana-mana media massa memberitakannya.

Para pelaku pembantaian beserta keluarga besarnya memang telah pergi jauh melarikan diri dari balas sakit hati keluarga korban dan kejaran aparatur hukum, entah kemana. Tapi, kengerian yang ditinggalkannya kami rasakan terus berhembus dari satu rumah ke rumah yang lain, menggerogoti jam-jam hening yang berlesatan. Seluruh warga di kampung saya tak ada yang berani keluar rumah pada malam hari, seperti ada kekhawatiran yang berkembang menjadi keyakinan di tengah kami, bahwa akan ada serangan balasan yang membabi buta dari kampung korban untuk membantai siapa pun dari kampung kami. Akhirnya, warga memilih dan menentukan sikap awas terhadap siapa saja.

Taqin? Tidakkah dia mendengarnya? Tidakkah dia membacanya?

II.

Curiga? Kecurigaan? Mencurigai?

Cukup aneh memang. Tapi begitulah, saya seorang yang negatif. Dan saya beruntung karena kebiasaan atau cara pandang yang demikian, justru membuat saya terus tertantang untuk menajamkan seluruh kepekaan, menemukan detil dan membuat reka-reka perimbangan yang mendekati obyektif, dari menu-menu persoalan yang saya hadapi.

Narsis? Mungkin saja! Tapi bukan itu yang hendak saya paparkan.

Dulu, secara kebetulan saya pernah mendengar kalimat-kalimat ini:

“Tuhan itu ada, atau kita yang mengadakan Tuhan?”

“Mana yang benar; Perempuan yang mandi di sungai, atau sungai yang mandi pada (tubuh) perempuan?”

Pernyataan atau pertanyaan tersebut memang klise, tapi juga kritis, dekonstruktif, subversib, dan provokatif. Mengundang pikiran-pikiran saya untuk berkembang curiga. Curiga dan berpikir kepada (kenyataan) Tuhan itu sendiri, curiga kepada siapa (si) yang mengatakannya dan curiga kepada sejarah (nya).

Pertama, demi proses berpikir, keduanya menjadi sangat menarik dan dialektik. Kedua, sebagai hasil atau capaian, keduanya (dalam pandangan saya) sama benarnya.

Sajak-sajak dalam buku ini juga telah mengantarkan saya pada kecurigaan yang sebangun. Apakah kelahirannya memang dikehendaki sang penyair, sebagai anak yang ditunggu-tunggu dan kelahirannya musti dirayakan (dengan cara launching, misalnya)? Atau sebaliknya; mereka adalah bahasa kegagalan penyair saat mimpi basah, kalimat-kalimat hitam yang gagap tak bermuara tapi belingsatan minta dituliskan, bergestur sajak tapi rohnya hantu, anak-anak yang didesak untuk lahir hingga tak sempurna secara fisik atau bawaannya (premature, demikian kira-kira istilahnya?)

Kelahiran sebuah sajak seperti layaknya kelahiran seorang manusia. Membutuhkan waktu panjang dan proses yang berantai. Seorang anak lahir dari rahim manusia berjenis kelamin perempuan, yang kelak kemudian dipanggilnya ibu, yang telah melakukan perkawinan dengan manusia berjenis kelamin laki-laki, yang nanti disebutnya ayah.

Sang ibu memiliki sel telur yang merupakan cikal-bakal manusia baru. Untuk membentuk manusia dibutuhkan pembuahan dan inilah peran manusia berjenis kelamin laki-laki. Dia membuahi sel telur dengan apa yang disebut sperma. Bila antara sel telur dan sperma ada kecocokan, maka terbentuklah tubuh manusia. Selama sembilan bulan sembilan hari manusia baru memulai tahap awal kehidupannya dalam rahim seorang ibu. Setelah itu, waktu pun mendesak melahirkannya. Dalam proses kelahirannya, dia tidak berjuang sendiri. Sang ibu turut bersikeras melepas sakit airmatanya agar buah hatinya lahir dan selamat.

Namun, tidak semua manusia terlahir dikehendaki sang ibu dan ayahnya. Ada mereka yang terlahir karena terpaksa dan atau dipaksa untuk lahir. Mereka melampaui proses itu dengan terpaksa dan atau dipaksa pula. Dengan kata lain, mereka dilahirkan secara premature. Belum selesai proses itu dilewati, mereka dipaksa untuk segera melanjutkan ke proses kehidupan selanjutnya, tanpa diberi kesempatan untuk menentukan pilihan. Sebagian dari yang terpaksa dan atau dipaksa tersebut mampu melampaui proses itu dengan baik, berhasil melanjutkan ke proses kehidupan selanjutnya. Sebagian yang lain harus menerima nasib: tak sempat menghirup udara bumi yang penuh polusi, kolusi, dan nepotisme ini.

Demikian pula sajak!

Kehadiran sajak seperti layaknya kelahiran manusia, karena sengaja untuk dilahirkan, terpaksa untuk dilahirkan, atau kehendak memaksanya dilahirkan. Hasilnya, tidak semua sajak berhasil menurut kacamata sastra!

Lalu, bagaimana dengan sajak-sajak dalam buku ini?

III.

Sapardi Djoko Damono pernah mengatakan, “Sebuah sajak adalah hasil dari sebuah proses. Dari awal sampai akhir proses itu, si penyair terlibat sepenuhnya. Begitu memabukkan, sehingga di ujung proses itu biasanya terkejut.”

Artinya, sajak yang telah selesai ditulis dan berhasil itu mempersonifikasikan diri sebagai sesuatu yang tak ia kenal, atau menjadi berbeda dengan apa yang sebelumnya pernah dibayangkan si penyair. Bisa jadi, karena seluruh yang disadari dan yang tidak disadarinya dilepaskan ke dalam sajak itu. Kerja kreatif memang bukan kerja spekulan, itulah sebabnya!

Goenawan Mohammad juga menulis: “Apa gunanya seorang penyair menulis sajak, kalau sajaknya dapat diuraikan isinya secara tuntas.”

Dengan kata lain, sebuah sajak, sebagai hasil dari proses yang ‘mabuk’, yang segala ucapannya tidak mudah untuk dipahami oleh pembaca dalam sekali baca. Membutuhkan pemahaman dalam memaknai sebuah sajak.

IV.

Setelah melampaui proses pemahaman yang cukup lama, saya masih juga tak mudah menemukan ukuran apa yang akan saya gunakan sebagai bekal pembacaan saya terhadap sajak-sajak dalam buku ini. Ada beberapa sajak yang musti saya baca berulang-ulang, hingga saya tiba di kedalaman dunia yang dibangunnya. Ada sebagian yang saya perhatikan dengan sungguh-sungguh, lalu saya menemukan sesuatu. Membacanya kembali dan berkali-kali menemukan sesuatu. Ada pula yang dengan terpaksa harus saya tinggalkan, dengan perasaan menyesal, dimana membaca baris pertamanya saja telah cukup bagi saya.

Karena semangat kecurigaan saya cukup besar, maka saya pun segera memutuskan untuk kembali men-serius-i kegiatan membaca!

Eit, tunggu dulu! Curiga karena apa? Curiga atas apa?

Asumsi awal pada pembacaan pertama, saya ‘menuduh’ Arif “Nyambek” Rahman, Dodik Kristanto, M. Sijjib, dan Ilham Persyada Syarif (para penyair dalam buku ini) telah mengalami keterjebakan ke dalam aktivitas pengekploitasian dan penimbunan kata-kata. Kaya diksi, boros dan maknanya tak utuh.

Disadari atau tidak, pada beberapa sajak (lihat: Fragmen Sore, Fragmen Batu Berlumut, Madu Lembayung, Biji Sunyi, Kari), kerap terjadi pengulangan-pengulangan (repetisi) kata dan kalimat-kalimat yang seharusnya tidak dilakukan. Bukankah pengulangan-pengulangan itu akan menjadi para pengganggu, bila kehadirannya tidak banyak berarti?

Bukan berarti bahwa sajak tak boleh mengenal repetisi atau pengulangan kata/kalimat, sebagaimana bahasa Indonesia sewajarnya. Pengulangan-pengulangan itu biasanya dilakukan untuk mengejar bunyi, makna dan efek-efek tertentu.

Dari sudut yang lain, dengan masih berlatar belakang kecurigaan, saya mencium aroma kecenderungan militeristik yang seragam dan pola-pola pendekatan kekerasan yang dilakukan dalam merepresi kata-kata. Membuat jalinan-jalinan sengkarut dan membentuk metafor-metafor kesakitan. (Lihat: Duka Muara, Rumah Sakit, Mata Sapi)

Bila benar, saya khawatir, pada kerja kepenulisan kreatif seperti inilah kata-kata kehilangan kesadarannya yang wajar.

Meski saya masih tetap saja curiga, jangan-jangan lanskap-lanskap kekerasan yang terjadi terhadap kata-kata dan bangunan teks sajak-sajak dalam buku ini merupakan represesentasi dari traumatika sejarah, potret-potret ingatan kegusaran realitas social politik yang gemuruh penuh konflik. Lalu para penyair ini dan generasi angkatan mereka; anak-anak yang setiap pagi memunguti airmata itu, mereka yang menyimpan kesakitan kota besar, menatap dan mencatat seluruh “kebrengketan” seluruh orde lewat kisah-kisah dan ingatan social. Ketakutan yang mengajari mereka kemudian untuk belajar memegang pisau garpu dan melakukan kekerasan terhadap kata-kata.

***

Namun, dunia sajak bukanlah sebuah dunia dengan kewajaran yang mutlak, kewajaran yang terjadi pada realitas manusia sehari-hari.

Sajak juga memang tak diharuskan untuk mengenal adanya gramatikal. Dunia sajak adalah dunia dimana realitas murni dan realitas imajinasi terbangun dalam sebuah teks, sama-sama memiliki logika dengan pengertian yang sepadan, yaitu sebagai benang merah kata-kata. Dunia sajak adalah dunia subyektivitas. Tak salah dan tak benar, tak hitam putih selayaknya realitas murni yang kita alami.

Pembaca pun tak bisa (berhak) menganggap bahwa sajak adalah realita yang ada di sekeliling kita. Namun pembaca juga tidak bisa (berhak) menganggap bahwa sajak hanyalah imajinasi sang pengarang, sebuah realita yang tak pernah ada di sekeliling kita.

Maka, yang ada ketika membaca sebuah sajak adalah dengan membuang seluruh realita, imajinasi di kepala kita, dan menerima sebuah realita yang baru, yang ada dalam sajak itu sendiri.

V.

Bersama kecurigaan yang terus menggayut di kepala saya, beberapa sajak telah menempatkan posisi terdepan untuk membuat saya cepat-cepat menggapainya dan menyodorkannya di hadapan pembaca. Sajak-sajak itu telah menarik diri saya pada kedalaman makna yang telah dibangunnya. Setiap kata, kalimat membangunkan imajinasi saya pada sebuah tempat tertinggi, dan melelapkan saya pada keindahan-keindahan hakiki dalam pandangan saya.

VI.

Sebagaimana apa yang telah saya kemukakan, tak ada kewajaran yang mutlak dalam sebuah sajak, maka tak ada pula yang mutlak dari kecurigaan saya. Keberhasilan sajak-sajak tetap bergantung kepada “kecurigaan” para pembacanya. Maka, mari mulai mencurigai dan membaca sajak-sajak dalam buku ini!

***

Bangkalan, 13 Februari 2008

Disampaikan dalam diskusi dan bedah buku antologi puisi “DUKA MUARA”, karya tujuh penyair Komunitas RaboSore, di Joglo, UNESA, pada hari Rabu, tanggal 13 February 2008.

Tidak ada komentar: