Senin, 16 Juni 2008

Catatan Kecil

Untuk RUMAH BERSAMA Faizi Kaelan

R. Timur Budi Raja”

Manusia tidak pernah lepas dari subjektivitas. Setiap mempunyai kesubjektivitasan baca: cara pandang) yang berbeda dan tersendiri. Subjektivitas ini berakar dari adanya berbagai ragam situasi, kondisi yang dihadapi dan dialami oleh individu, yang tidak sama antara satu dengan yang lainnya.

Berawal dari kesubjektivitasan itu, muncullah apa yang disebut dengan teori, dimana di dalamnya beragam cara pandang, pokok-pokok pikiran diolah, diramu, dan dilahirkan menjadi ‘sesuatu’ yang dijadikan panutan, teladan bagi yang lain dalam berbagai permasalahan yang dihadapi.

Subjektivitas ini pun merambah ke dunia sastra. Maka dalam dunia sastra dikenal juga istilah teori sastra. Dari mulai strukturalisme, pormodernisme, hingga deskontruksi juga dikenal dalam dunia sastra.

Khususnya dalam dunia puisi, penyair, setiap pembuat atau penulis, bahkan penikmatnya (= pembaca), memiliki subjektivitas yang terjadinya tidak dapat diganggu gugat. Cara pandang satu tidak dapat disalahkan oleh yang lain. Karena subjektivitas itu maka orang memiliki kebebasan untuk menafsirkan karya sastra atau puisi sesuai dengan cara pandangnya masing-masing.

Maka, tidak salah pula bila akhirnya saya mencoba menemukan ‘sesuatu’, sesuai dengan cara pandang saya, dari kumpulan puisi Rumah Bersama milik Faizi L. Kaelan.

Sebelum mulai, saya akan membaca satu bait puisi dari kumpulan ini, yang dari sana kita akan mulai berangkat membangun kebersamaan kita malam ini: Rumah ini adalah rumah bersama/tempat engkau membersihkan hidup/dari guguran daun-daun maut (RUMAH SAKIT).

Mengapa Rumah Bersama? Mengapa ‘ia’ yang dipilih menjadi judulnya? Mengapa rumah sakit lah Rumah Bersama itu? Mengapa …?

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang akan menjadi pokok pembicaraan kita malam ini. Marilah kita bersama mencoba mengira-ngira jawabannya, sebelum kita menanyakan kepada penulisnya, yang hadir pada malam ini.

Hanya mungkin, karena saya, sekali lagi mungkin, telah mendapatkan naskah kumpulan puisi ini, saya telah menemukan beberapa hal yang, lagi-lagi mungkin, dapat kita jadikan acuan dalam membangun kebersamaan kita malam ini, dan menjadi pengantar bagi para penikmat yang berkeinginan membacanya.

Rumah, menurut pemahaman saya, adalah tempat berkumpul, tempat berpulang, tempat berteduh, tempat berlindung, dan bahkan adalah tempat kita melakukan segala aktivitas kehidupan. Tapi mengapa Rumah Bersama? Jawaban pertama dari kira-kira saya adalah: kumpulan puisi ini adalah rumah bersama. Rumah berbagai segala bentuk dan formasi puisi yang ada. Rumah bagi beragam, bermacam jenis puisi, dari yang romantisme: Aku menikahimu/untuk membuktikan keteguhan hati/memilih belahan jiwa/sebagaimana janji puisi/pada kata-kata (PERNIKAHAN-PUISI), hingga yang merupakan satire: Taretan Maduraku!/sekali ini ada baiknya kita bertanya:/jika Arab punya Yasser Arafat/dan Afrika punya Nelson Mandella/lalu, Madura melahirkanmu sebagai apa? (MATTALI DAN MARKOYA).

Jawaban kira-kira saya yang kedua: penulis (atau saya sebut saja Mas Faizi) tak hendak membaktikan diri pada satu ‘cinta’. Bukan berarti dia tak setia. Tapi dia ingin berungkap bahwa ada beragam cara untuk berkata ‘cinta’. Sebagaimana ada beragam cara pandang dan dia tak berniat menyangkalnya. Ada yang suka mengatakan ‘cinta’ dengan kelembutan dan mendayu-dayu: Kerlip mata malammu/jumpalitan jatuh ke cahaya mukaku (PERMAISURI MALAMKU). Ada yang mengungkapkannya dengan menggunakan logika dan mengharu-biru: Sungguh sedih nasib puisi/di dalam masyarakat yang tidak puitik/masyarakat agraris yang mengimpor beras/karena tak konkret, juga tak jelas/masyarakat yang bangga bila meniru/biar kacangan yang penting laku (PUISI DALAM MASYARAKAT YANG TIDAK PUITIK). Ada pula yang suka mengungkapkannya dengan begitu sederhana: Faruk dan aku bermain kata/kami dipermainkan kata-kata (PETAK UMPET). Namun, ada pula yang lebih suka berungkap dengan lebih gelap: Gemerisik pikiran/melayang-layang/menimbuni kesadaranku, satu-satu/berjalan di malam hari/perjalanan magrib menuju pagi (BERJALAN DI MALAM HARI).

Menurut kira-kira saya, Mas Faizi hendak berucap bahwa cara pandang yang berbeda bukanlah alasan untuk tidak bisa bersama. Ada ‘rumah’ yang siap sedia menerima perbedaan itu, dan ia adalah ‘rumah sakit’, katanya.

RUMAH SAKIT

Rumah itu adalah rumah bersama

tempat teknologi, doa, suka, dan duka

bertemu, bersilaturrahim, hidup bersama

dan akhirnya harus selalu setuju

maut memang tidak ada obatnya

Dalam benak saya (mungkin Anda juga) tentu turut bersepakat padanya. Gambaran rumah sakit, tempat dimana orang-orang sakit orang-orang dengan penyakit, datang mengadukan nasib, beserta keluarga, teman, atau bahkan dengan orang yang tak dikenalnya. Mereka bersama. Dan dokter serta suster yang ada tergopoh-gopoh menyambutnya, membantu, merawat, dan memberikan semangat, meski mereka tak saling mengenal nama.

Di salah satu lorong, selang infus membantu memberi waktu. Kerabat-kerabat mulai berdatangan sembari menghitung waktu (dan dengan doa tentu!). sementara, di lorong lain, tak ada lagi waktu untuk berdzikir. Karena Tuhan telah mengirimkan Izrail, dan orang-orang pun tinggal menangis agingging.

Demikianlah. Mas Faizi tak salah. Saya pun juga tak berharap salah. Rumah sakit memang rumah bersama. Namun jangan sampai Rumah Bersama membuat kita masuk rumah sakit bersama-sama karena sakit kepala setelah menikmatinya! Selamat membaca!

‘Sebagai bahan acuan dalam membangun kebersamaan di malam Jumat, 28 Juni 2007, dalam rangka Bedah Buku Rumah Bersama karya Faizi L. Kaelan yang diadakan oleh STKIP Bangkalan-Madura

‘’Rakyat Indonesia

2 komentar: