Selasa, 17 Juni 2008

TENTANG KEMERDEKAAN

R. Timur Budi Raja

Masih ingat dengan lirik lagu ini:
"Tujuh belas Agustus tahun empat lima. Itulah hari kemerdekaan kita. Hari merdeka, nusa dan bangsa, hari lahirnya bangsa Indonesia,…Merdeka!….."
Dan benar. Indonesia memang telah mengajukan kedaulatannya pada hari itu, tanggal 17 Agustus 1945 yang silam kepada dunia. Seluruh rakyat Indonesia menangis. Bukan karena sedih, tapi lantaran keharuan yang dalam mengenang perjalanan sakit dan perihnya luka beratus tahun di bawah kaki penindasan bangsa asing -para penjajah-, yang datang dari belahan bumi yang lain.
Tangis keharuan yang jatuh pada saat itu, tentu saja adalah tangis keharuan yang wajar. Yang tidak mengada-ada dan bukan atas nama semacam romantisme atau kecengengan-kecengengan yang dangkal terhadap sejarah. Airmata tersebut barangkali memang musti jatuh, dan mungkin untuk sekali itu saja.
Perasaan kepemilikan akan persoalan yang sama -pada awalnya hanya bicara tentang kedaerahan, yang pada akhirnya menjadi bersifat nasional- itu, yakni ketertindasan, menyebabkan mereka mengangkat senjata untuk melawan.
Latar belakang kesamaan sejarah, nasib, wilayah, itikad dan tujuan yang pasti telah mempertemukan mereka -para pejuang, dan orang-orang yang berdiri di depan sekali mengawal bangsa dan negeri ini-. Baik di tengah-tengah medan peperangan atau pun juga pada saat berpikir keras untuk menentukan keputusan-keputusan mendesak, di antara situasi dan kondisi yang serba darurat dan genting di dalam kerangka persiapan kemerdekaan.
Tema persatuan adalah kunci dari adanya komitmen untuk menyatakan diri bersama-sama sebagai suatu bangsa, lalu membentuk dan membangun sebuah negara.
Pengalaman pada waktu itu telah memberikan sebingkai cermin dan mengajarkan, bahwa gerakan perlawanan yang bersifat kedaerahan terhadap tirani apa pun atau dinding kekuasaan suatu rezim tertentu, terbukti cuma menghasilkan kegagalan demi kegagalan semata. Oleh karena itu, diperlukan sebuah kesadaran baru dan kesepakatan bersama dalam memberi arti terhadap rasa kebersamaan, persatuan, ideologi dan gerakan-gerakan perlawanan yang dilakukan.
Persatuan? Kebersamaan? Ya, tentu saja. Karena hal-hal tersebut jelas-jelas memberi kekuatan bagi keberlangsungan hidup dalam konteks berbangsa dan bernegara.
Baiklah, itu telah berlalu. Bisa dianggap masih dekat atau, bahkan jauh sekali tertinggal di belakang. Kita dapat melipatnya, sambil sedikit ketawa dan berujar " Ah, itu sudah menjadi sejarah! ".
Di bulan Agustus tahun ini kita -bangsa Indonesia-, kembali merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan yang ke-63. Lampu-lampu merkuri dipasang dimana-mana. Kembang api warna-warni dinyalakan, membuat malam menjadi meriah. Spanduk-spanduk bertuliskan semangat kemerdekaan dan selamat ulang tahun ke-63 dipajang di sepanjang jalan-jalan protokol. Bendera merah putih dikibarkan di depan rumah, di kantor-kantor dan seluruh instansi pemerintah yang ada di kota, di desa, di dusun dan di kampung-kampung. Lagu-lagu dan mars kebangsaan terdengar riuh di setiap upacara yang dilaksanakan. Beragam aktivitas kegiatan diadakan. Aneka perlombaan dan adu kreativitas digelar. Mulai dari perlombaan yang menggunakan kekuatan fisik atau otot seperti balap karung, pacuan kuda, panjat pinang, makan kerupuk, sampai pada perlombaan yang menggunakan kemampuan pikiran.
Di setiap stasiun TV dan radio disiarkan, bagaimana presiden, wakil, seluruh menteri dan stafnya tiba-tiba menitikkan airmata pada waktu upacara sedang berlangsung.
Beberapa orang yang ikut memiliki andil pada masa perjuangan pra kemerdekaan, yakni menghalau penjajah di setiap medan peperangan yang terjadi sampai pada ketika proklamasi diperdengarkan kepada dunia, tidak mungkin melupakan begitu saja heroikme suasana pada waktu itu. Keterikatan bathin mereka dengan suasana yang mereka kenal dengan baik itu, tentu saja akan membuat mereka bergetar kembali mengingatnya. Kalau pun mereka menangis, yang jelas tidak untuk dirinya sendiri.
Bagi sebagian orang atau generasi yang bukan produk dari jaman itu hanya bisa mendengarkan "ceritanya" lewat orang tua, buku-buku bacaan, lagu-lagu perjuangan, mars kebangsaan dan mata pelajaran sejarah yang diajarkan di bangku-bangku pendidikan dasar formal yang justeru terkadang belum tentu sepenuhnya benar. Sebagian orang yang saya maksudkan di sini adalah angkatan generasi yang lahir pada jaman dimana "perang melawan ekspansi orang-orang asing" telah lewat.
Perang tersebut memang telah berlalu. Tapi perang-perang baru dalam berbagai bentuk sedang dialami bangsa kita. Perang dalam berbagai lini dan konteks aktivitas sosial sesungguhnya tengah dimulai.
Beberapa puluh tahun saja setelah peristiwa proklamasi itu, tiba- tiba kita menjadi terlalu congkak menatap keberadaan diri kita sendiri. Pada saat angkuh berdiri, kita kerap lupa bahwa bumi tempat kita berpijak sesungguhnya telah longsor dan terancam. Apa sesungguhnya yang terjadi dengan kita atau bangsa ini? Bahwa kita semakin jauh dari nilai-nilai dan tradisi, bahwa kita tidak pernah dekat dan mengenal akar budaya kita berasal. Stempel-stempel dan istilah-istilah seperti masyarakat baru, masyarakat modern, negara berkembang, masyarakat industri, era globalisasi dll. yang ditiupkan oleh "jaman baru" yang kita sebut ini telah cukup lama membuat kita terlalu penat dan terasing.
Belum lagi persoalan-persoalan umum menyangkut realitas dan perilaku kekerasan yang dilakukan negara terhadap rakyat untuk melegitimasi kekuasaan dengan berbagai alasan, ketidakadilan ekonomi, pencaplokan dan penggusuran tanah, kesenjangan pendidikan, perilaku korup dan lain-lain masih saja selalu kita rasakan dan dengar setiap waktu di negeri ini.
Diam-diam saya teringat seorang lelaki tua bekas pejuang kemerdekaan bernama Romo, yang suka meledak-ledak ketika berbicara dan bercerita tentang jamannya. Ia yang suka berpakaian seperti halnya pakaian Pak Dirman itu, hanya memiliki kebanggaan-kebanggaan yang sederhana. Romo, lelaki yang sering memakai sepeda onthel berkeliling kota itu, suka menundukkan kepala dan menangis di bawah tiang bendera. Entah mengapa.
Atau kepada Tedjo dan Sarjikun. Kawan-kawan sepermainan saya dulu di kampung, yang setamat dari bangku sekolah dasar harus kembali ke sawah karena tidak mampu meneruskan sekolah. Beberapa waktu yang lalu, mereka sempat menjadi pedagang kaki lima di Surabaya. Tapi tidak bertahan lama. Menurut Tedjo, barang-barang dagangan serta rombong kaki lima miliknya dan teman-teman seprofesinya, dihancurkan begitu saja oleh Satpol PP dan dibawa entah kemana.
Bahkan, kata Tedjo lagi, beberapa mahasiswa yang menggelar aksi demo menentang tindakan "kejahatan kolektif" semena-mena antara Pemkot dan Pengusaha setempat itu, dipukuli oleh aparat keamanan. Saya hanya dapat memandang Tedjo yang sadar terhadap hak-haknya yang sangat sederhana, sebagai bagian dari bangsa ini.
Konon negara ini memiliki undang-undang, dimana salah satu pasalnya menyatakan, bahwa negara menjamin kemerdekaan setiap penduduknya untuk memperoleh penghidupan yang layak.


Bjn-Sby, 16-17 Agustus 2003

Tidak ada komentar: